Daisypath Anniversary Years Ticker
babies

22 Maret 2009

Raysha Mahardika

Sepertinya aku nggak bisa berkomitmen untuk belajar menulis. Baru 2 bulan aku bikin blog ini, lalu aku tinggalin. Kalau nggak salah aku memang sedang sibuk-sibuknya hingga pertengahan bulan Desember lalu. Meskipun begitu, aku masih sering meluangkan waktu untuk membaca blog-blog orang lain di saat tenggang. Membaca orang lain bercerita, memahami apa intinya, dan berusaha menangkap feel-nya, rasanya sungguh mudah dan menyenangkan. Tapi aku nggak pernah tau, apakah aku bisa menuangkan kisahku sendiri, dengan kata-kata dan kemampuanku yang terbatas, dan kemudian orang lain akan merasakan hal-hal yang sudah aku sebutkan tadi.

Meskipun demikian, mulutku ini nggak bisa diam kalau udah sekali berceloteh. Pertanyaan orang yang diajukan padaku akhir-akhir ini selalu sama, "Gimana rasanya jadi ibu?"
Sebagian ibu baru, mungkin hanya bisa bilang, "Nggak bisa diungkapin, seneng banget..."
Tapi aku?
Tiga hari tiga malam, disambung pakai telepon Esia pun rasanya nggak akan cukup untuk mengerem mulutku yang menjabarkan gimana perasaanku sebagai seorang ibu baru.
Sekarang aku akan coba menuangkannya di sini. Pengin banget cerita tentang detik-detik kelahirana anak pertamaku, mumpung saat ini suamiku dan Dika (nama panggilan anakku, Raysha Mahardika) sedang tidur.

Dika dijadwalkan lahir pada 23 Februari 2009 lalu. Hari Sabtu 21 Februari aku kontrol ke dokter, dan Dika belum menunjukkan tanda-tanda akan lahir. Aku sudah mulai khawatir, karena banyak ngedenger cerita yang bilang bahwa bayinya minum air ketuban karena terlalu lama di dalam perut, dll. Aku masih mencoba untuk tenang di sela-sela ketidaksabaranku untuk bertemu dengan Dika. Pada tanggal 24 Februari malam, aku merasakan kontraksi pertamaku dan mulai merasa nggak nyaman setelah kontraksi kedua dan ketiga. Aku menelepon Andri, dan dia masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Aku langsung menelepon mamaku untuk minta tolong. Di rumah cuma ada aku dan si bibi, aku nggak tau harus ngapain. Si bibi pernah bekerja di bidan ketika di kampung, dan sering mengurut kaki dan pundakku kalau pegel selama kehamilan, tapi sejauh mana aku bisa percaya padanya?

Aku mulai panik ketika sadar aku sempat membongkar isi koper yang harus aku bawa ke rumah sakit sehari sebelumnya. Aku keluarin lagi isinya dan aku taro di lemari supaya nanti masih wangi. Aku jadi panik dan itu bikin kontraksi yang aku rasain semakin sakit. Bibi telepon Andri, dia masih 1 jam perjalanan dari rumah, dia telepon mama, mama juga baru keluar kompleks rumahnya. Akhirnya bibi memanggil taksi dari depan rumah, dan 5 menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi di perjalanan menuju RS.

Perjalanan malam itu lama sekali. Jam pulang kantor dan hujan. Sementara aku terus meringis kesakitan sambil ketakutan... Gimana bayi sebesar ini nanti akan keluar dari tubuhku?

Sampai di RS, aku dibawa dengan kursi roda menuju ruang bersalin. Seorang suster memeriksaku dan berkata bahwa aku baru bukaan 2 dan sudah keluar vlek. Beritanya jelas, bahwa sebentar lagi aku akan melahirkan.

Dua jam kemudian Andri belum dateng juga. Aku udah bukaan 4, seorang suster udah beberapa kali bolak-balik untuk ngecek. 5 menit kemudian mama datang, bersamaan dengan seorang suster yang kemudian melatih aku untuk mengejan. Walaupun aku sudah mempelajarinnya saat senam hamil, pada praktiknya aku rasain jauh lebih susah. Ketika pertama kali aku mencoba untuk mengejan, aku merasakan bayiku turun ke panggul, dan rasanya sakit sekali. Ternyata aku mendorong bayi itu dan langsung bukaan 5. Ya ampun, udah sakit begini ternyata masih 1/2 jalan?

Aku kesakitan banget. Selama setengah hari aku stuck dibukaan 8 sampai akhirnya dokter menyuruhku untuk diinduksi. Hingga pukul 3 sore 24 Februari, aku baru dimasukan di dalam ruang bersalin. Andri nggak ikut. Dia nggak mau ngeliat aku kesakitan. Mama dan keluarga lainnya juga nunggu di luar, jadi aku bener-bener sendiri di ruang bersalin.

It's time..., kataku di dalam hati. Aku berusaha tenang sambil mengatur nafasku ketika suster memindahkanku ke meja bersalin. Punggungku ditopang dengan bantal yang membuatku lebih nyaman. Aku dikasih minum sambil menunggu dokternya datang. Saat suster yang satunya lagi membuka kakiku dan menaruhnya di pijakan kaki, aku berusaha tetap tenang meskipun hatiku udah mulai panik lagi. Hatiku terus-terusan mengatakan "It's time, it's time, it's time..." dan aku takut sekali untuk mengejan.

Tepat saat dokter duduk di hadapanku, aku merasakan si bayi turun ke panggulku lagi. Kemudian dokter menyuruhku untuk mengejan. Si suster yang baik langsung membantuku merangkul kaki, dan aku pun mengejan untuk pertama kalinya. Setelah mengejan, aku merasa bayiku belum bergerak. Beberapa detik kemudian kontraksi datang lagi, dan aku kembali mengejan. Tapi aku sempat berhenti di hitungan ke-5. Tiba-tiba datang pikiran menganggu, bahwa aku sedang melahirkan... Saat bayi ini lahir, aku akan menjadi ibu. Ntahlah, saat itu aku belum merasa siap. Tiba-tiba kontraksi datang lagi dan ada keinginan dalam diriku untuk mengejan sekuat-kuatnya.

Aku berteriak, nangis kesakitan, nangis inget mama, bercampur nangis terharus. Dokter memberiku guntingan episiotomi agar bisa dilalui kepala bayi. Setelah mengejan untuk ketiga kalinya, aku cepat-cepat mengambil nafas dan langsung mengejan dengan panjang. Suster membuka kakiku lagi, sementara yang satunya lagi menekan perutku untuk membantuku mendorong bayi. Tepat saat aku berhenti berteriak, membuka mata, dan menarik nafas lagi, suster menurunkan kakiku, dan aku ngeliat Dika diturunkan di dadaku...

18 Agustus 2008

It says...

I'm 3.5" CRL 1.5 oz; I'm practicing smiling, grimacing, frowning & squinting!
I'm 13 weeks old, only 189 days to go!

10 Agustus 2008

Quotes


A baby is God's opinion that life should go on...

~Carl Sanburg~

And It says...
I'm 3 inches CRL & weigh one ounce. My tiny unique fingerprints & all 20 teeth are formed.
I'm 12 weeks old, only 196 days to go!

(Picture by JynMeyerDesign @ Deviantart)

07 Agustus 2008

Some Hearts

I've never been the kind that you'd call lucky
Always stumbling' around in circles
But I must have stumbled into something
Look at me
Am I really alone with you

I wake up feeling like my life's worth living
Can't recall when I last felt that way
Guess it must be all this love you're giving
Never knew never knew it could be like this
But I guess

Some hearts
They just get all the right breaks
Some hearts have the stars on their side
Some hearts
They just have it so easy
Some hearts just get lucky sometimes
Some hearts just get lucky, lucky sometimes

Now who'd have thought someone like you could love me
You're the last thing my heart expected
Who'd have thought I'd ever find somebody
Someone who ,someone who makes me feel like this
Well I guess

Some hearts
They just get all the right breaks
Some hearts have the stars on their side
Some hearts,
They just have it so easy
Some hearts just get lucky sometimes
Some hearts just get lucky sometimes

Even hearts like mine
Get lucky, lucky sometimes
Even Hearts like mine

Some hearts
They just get all the right breaks
Some hearts have the stars on their side
Some hearts,
They just have it so easy
Some hearts just get lucky sometimes
Some hearts
They just get all the right breaks
Some hearts have the stars on their side
Some hearts,
They just have it so easy
Some hearts just get lucky sometimes
Some hearts just get lucky sometimes

~Carrie Underwood~

(Picture by rachey-roo @ Deviantart)

31 Juli 2008

It says...

I'm 1.5 inches & weigh 1/4 oz; the irises of my eyes, my hair & fingernails are developing.
I'm 10 weeks & 3 days old, only 207 days to go!

30 Juli 2008

Melengkapi hidup


Saya tahu saya adalah wanita.
Yang terkadang diam, tetapi banyak hasrat dalam diri saya.
Yang terkadang bilang tidak, namun malah berarti sebaliknya.
Yang senang mengerutkan dahi dan memajukan bibir, karena ingin diperhatikan.
Yang setiap pagi bangun lebih awal, hanya untuk menginjakkan kaki di dapur.
Yang selalu ingin dilindungi, karena nggak pernah mampu melawan.
Yang pernah berdo'a agar dilamar oleh pangeran impian dengan cara yang indah.
Yang menangis ketika dirundung masalah.
Yang berteriak dan paling egois ketika marah.
Yang berharap mempunyai suami yang akan membelikan apapun yang diingin.

Wanita berkata,
"Hidup kami tidak akan lengkap tanpa memiliki anak.
Anak dari rahim kami sendiri".

Dan saya adalah wanita.
Dan hanya wanita yang sanggup memberikan kebahagian yang tidak pernah bisa dinilai oleh mereka.
Juga hanya wanita yang bersedia bertaruh nyawa untuk membahagiakan mereka.
Memberikan hadiah yang paling berharga di dunia untuk mereka.

Mereka adalah pria.
Pria yang selalu berdiri di depan setiap saat,
untuk melindungi wanitanya.
Makhluk yang diciptakan tuhan untuk melengkapi hidup kita.

(Picture by : iamshimone)

Adiktif

Saya adalah saya.
Hanya satu saya dalam dunia ini.
Hanya ada satu saya meski saya melihat saya yang lain
di dalam cermin.

Mengapa cermin begitu penting,
hingga saya merasa menjadi idiot ketika saya lupa membawanya,
hingga saya memakai lipstik melewati bibir saya ketika saya lupa membawanya,
hingga saya mengikat rambut saya dengan berantakkan ketika saya lupa membawanya?

(Picture by SQEEKER @ Deviantart)

08 Juli 2008

Ketika tuhan yang berbicara


Suami saya selalu ingin cepat memiliki anak.
Sementara saya masih belum mau,
karena saya belum siap.
Tetapi saya selalu berkata pada suami,
mungkin tuhan belum percaya pada kita.

Ketika saya dinyatakan hamil,
saya belum siap.
Tapi tuhan telah percaya pada kami.

(Picture by Ocelot99992003 @ Deviantart)

07 Juli 2008

Saya bekerja bersama angka


Pekerjaan saya termasuk hal rutin di kantor.
Mengandalkan kemampuan teknis, kalkulator, komputer, dan berbicara dengan bon dan nota.
Rutin. Dan selalu begitu setiap harinya.

Saya tidak terbiasa dengan sesuatu yang bermobilitas tinggi.
Saya senang dengan rutinitas.
Saya senang dengan kemonotonan.
Saya senang dengan suasana sepi.
Saya senang bila bekerja tanpa diajak bicara.
Saya senang hanya berteman dengan angka.
Karena saya tidak pandai berteman dengan huruf.

Tapi saya baru saja dirotasi.
Ah, per*****

(picture by Pioter @ Deviantart)

06 Juli 2008

Aku, Dirimu, Dirinya

Saya melihat wanita itu dari kejauhan. Tak sengaja.
Maka saya terus berjalan.
Semakin saya melangkah, saya sadar bahwa saya akan semakin dekat dengan wanita itu,
yang nota-benenya berjalan berlawanan arah dengan saya -dan Andri-.
Saya meraih tangan Andri dan menaikkan dagu saya seraya sedikit membusungkan dada saya.
Kemudian sedikit tersenyum.

Tiba saatnya berpapasan dengan wanita itu,
namun wanita itu sama sekali tak bergeming.
Ah, saya hanya gede rasa.

"Ah" Suara itu akhirnya keluar juga.
Saya menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
Begitu juga dengan Andri.
"Andri? Nova?" Wanita itu sambil menunjuk ke arah kami dengan jarinya yang berkuku french menicure.
Rambutnya hitam sepinggang dan di catok keriting -saya tahu rambutnya lurus- bulu matanya lentik dengan smoky eyes, blush on dan lipsticknya pink tampak glossy. Saya yakin dia baru pulang dari kantor saat itu -dengan kemeja krem, rok hitam, dan high heels sekitar 7-10 centi-.

"Ya? Rissa?" Sahut saya. Sebut saja namanya Rissa, mantan Andri, suami saya, yang pernah melabrak saya dan kemudian mendapat malu karena Andri membela saya.
Ya, Rissa memang mantan suami saya tepat sebelum suami saya berpacaran dan menikah dengan saya.

Saya memandangnya dengan penuh percaya diri.
Percaya diri karena saat itu saya sudah menyandang gelar sebagai Mrs. Andri.
Saya menunggu apa reaksi Rissa.
Dan apa yang akan dilakukannya setelah dua tahun berselang sejak dia melabrak saya.

Ternyata dia hanya menanyakan kabar.
Kami jawab bahwa kabar kami baik -kami bahagia- dan kami bertanya balik padanya bagaimana kabar dia.
Dia menjawab,
dan kemudian pamit.
Dan berlalu.

Satu setengah jam kemudian saya dan Andri dalam perjalanan pulang.
Di tengah kota Jakarta yang begitu padat dan macet,
hujan turun.
Saya menyalakan radio.

"Jadi menurut lo gimana nih kalo mantan lo, atau mantan suami lo, tiba-tiba masuk dalam kehidupan rumah tangga lo berdua?" Tanya sang DJ.
Si penelepon menghembuskan napasnya.
Saya dan Andri saling berpandangan.
Kemudian saya membesarkan volume radio.

"Oke-oke aja." Jawab penelepon.
Saya mengkerutkan dahi saya. Merasa saya sedikit salah dengar karena di kantor telinga saya sudah penging saat bos memarahi para OB.
"Tapi sebagai apa dulu? As long nggak mencampuri kehidupan rumah tangga gue dan suami gue sih gue nggak masalah." Jawab si penelepon lagi.
"Tapi elo nggak khawatir atau gimana gitu?" Balas si DJ.
"Khawatir sih iya, tapi kalau kita khawatir terus nggak ada gunanya. Lebih baik pastiin posisi mantan sebagai apa."
"Tapi bagaimanapun juga, mantan itu kan orang yang pernah deket juga sama elo atau suami lo, secara nggak langsung dia juga tahu donk bagaimana elo atau suami lo." Pancing si DJ lagi.
"Ah, kalau gue sih bukan tipe orang yang penuh dengan kekhawatiran. Selama gue tau posisi mantan sebagai apa dan siapa, kemudian bagaimana gue dan suami gue bersikap selama berhubungan dengan mantan, gue rasa save. Lagian elo juga nggak jelasin kan mantan yang seperti apa? Kalau misalnya mantan gue deket lagi sama gue nggak apa-apa. Apalagi kalo dia deket sama gue urusan pekerjaan, misalnya dia mau konsultasi pernikahan. Lha wong gue ini kerja di wedding organizer kok."

Saya menghela napas.
Andri membunyikan klaksonnya tepat di depan rumah.

Sebelum tidur, saya bertanya pada Andri.
Pertanyaan yang sama yang dilontarkan oleh DJ itu.
Andri menjawab,
"Biarin mantan dan kita mau berhubungan seperti apa. Yang penting aku sudah menikah sama kamu. Artinya, kamu telah memenangkan hati aku, aku telah memenangkan hati kamu. Dan kita bukan piala bergilir. Hanya ada satu kemenangan untuk aku, dan untuk kamu."

"Never leave the one you love for the one that likes you, because the one that likes you will leave you for the person the love" - Joya